Kamis, 27 September 2018

3 Kisah Religi Kebesaran Anugerah Ilahi, Nikmat Tuhan Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?

Jika kita menjaga diri dari perbuatan dosa dan meninggalkan semua yang diharamkan oleh Allah SWT, Allah akan memberikan ganjaran berupa anugerah yang tak terduga. Sungguh, Anugerah Allah tak sanggup untuk dihitung.

VIRALSBOOK.COM – Anugerah Allah SWT kadang datangnya tak terduga. Sebagai hamba-Nya, kita hanya berkewajiban mensyukuri dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. Berikut 3 Kisah Nyata Religi tentang kebesaran Anugerah Ilahi yang diperoleh melalui cara meninggalkan apa yang dilarang-Nya dan menjalankan apa yang diperintahkan-Nya.

Memberi satu dirham, Allah lalu menganugerahinya seratus duapuluh dirham

Fudhail bin ‘Iyadh menuturkan bahwa seseorang bercerita padanya: “Seorang pria keluar dengan membawa hasil tenunan, yang dijualnya seharga satu dirham. Dengan uang sejumlah itu ia berharap bisa membeli tepung, tapi di tengah jalan dia melintasi dua orang yang saling menjambak kepalanya, seraya bertanya: “Ada apa ini?” Seseorang mengabarkan: “Mereka sedang memperebutkan satu dirham.” Lantas pria itu pun spontan memberikan dirham hasil penjualan tenunan itu pada keduanya, sementara ia tak punya apa pun selain dirham yang diberikan itu.

Ketika datang menjumpai istrinya, dia ceritakan tentang apa yang sudah terjadi. Kemudian sang istri menghimpun perabot rumahnya, dan lelaki itu kembali berangkat melego perkakas rumahnya itu. Namun jualannya tidak laku, dan ia hanya berjumpa dengan si pembawa ikan yang telah membusuk.


Kepada si penjual ikan, lelaki itu berucap: “Engkau memikul dagangan yang tidak laku, saya pun membawa barang yang tidak terjual. Bagaimana bila kau jual ikan itu dengan dibayar barang ini?” Keduanya sepakat, dan orang itu pun pulang dengan membawa ikan yang sudah menebarkan bau busuk. “Bangunlah. Olah ikan ini. Kita nyaris meninggal saking laparnya,” ucap lelaki itu kepada istrinya setiba di rumahnya. Lalu sang istri menyianginya, dan ketika dia belah perut ikan itu, tiba-tiba ada mutiara yang menyembul darinya.


Ucap istrinya: “Kanda, dari perut ikan itu keluar sebuah gumpalan yang lebih kecil dari telur ayam. Atau kira-kira sebesar telur burung puyuh!” Jawab pria itu: “Coba perlihatkan padaku.” Yang kemudian dia saksikan adalah sesuatu yang belum pernah dilihat seumur hidupnya. Akal dan pikiran lelaki itu pun menerawang jauh. “Kukira ini mutiara,” ucapnya kemudian pada istrinya.

Sang istri menyahut: “Apakah kanda tahu mutu sebuah mutiara?” Jawabnya: “Tidak, tapi saya mengenal orang yang paham kualitas mutiara.” Lalu dia pun berangkat menemui pedagang mutiara, ke sahabatnya yang memiliki mutiara.

Setelah temannya menjawab uluk salam yang diucapkannya, pria itu pun mengutarakan maksudnya, sambil memperlihatkan gumpalan telur itu. “Bagaimana pendapatmu tentang kualitas mutiara ini?” tanya orang itu kemudian.

Setelah temannya mengamati secara seksama dan berpikir cukup lama, ia menyahut: “Saya hamya sanggup membayarnya empatpuluh ribu dirham. Kalau kamu setuju, saya lunasi sekarang juga, tapi kalau kamu kepingin harga yang lebih mahal lagi, temuilah si fulan. Karena dia sanggup membayar lebih tinggi dari saya.”

Kemudian lelaki itu membawa mutiara tersebut kepada orang yang dimaksud. Setelah si pedagang melihat dan mengakui kualitas mutiara itu, dia berucap: “Saya hanya sanggup membayar delapanpuluh ribu dirham. Tapi kalau anda ingin harga yang lebih mahal lagi, silakan temui si fulan. Saya kira dia bisa membayar lebih tinggi dari saya.”

Lelaki itu pun berangkat menemuinya. “Saya beri seratus duapuluh ribu dirham. Dan saya kira tidak ada orang lain yang sanggup membayar lebih mahal dari saya,” ujar orang yang ditujunya. Lelaki itu menyahut: “Baiklah.” Lantas mutiara pun ditimbang, dan kala itu juga lelaki itu membopong dua belas badrah (pecahan dirham sepuluh ribuan) ke rumahnya, yang selanjutnya hendak ia simpan. Namun setiba di rumahnya seorang pengemis tengah berdiri di depan pintu rumahnya. “Ayo mari sini masuk. Ada cerita yang barusan saya alami,” kata lelaki itu menyapa si fakir yang meminta sesuatu padanya. Lalu peminta itu pun masuk.

“Ambillah setengah dari harta ini,” ucap lelaki itu kepada si pengemis. Lantas si pengemis mengambil dan membawa enam badrah, dan ia pun segera beringsut pergi namun tidak jauh dari lelaki itu. Tidak lama kemudian si pengemis kembali menemuinya, seraya berujar: “Saya tidak miskin, saya juga bukan orang fakir, namun Rabb-mu Azza wa Jalla mengutus saya agar datang menemuimu; satu dirham sudah kau berikan kepada orang lain, dan Dia (Rabb-mu) telah menggantinya dengan duapuluh karat mutiara; satu karat kontan diberikan padamu, dan sembilan belas karat lainnya disimpan untukmu.” [1]

Catatan kaki:

[1] Al-Faraj ba’dasy-Syiddah (III/238). Namun beberapa terbitan mencatat bahwa seorang wanita mendapati mutiara dalam perut ikan, dan menjualnya dengan empat ratus dinar Kuwait. Sementara sebelumnya melarat dan didera oleh kesulitan ekonomi yang amat mengenaskan. Maka dengan ditemukannya mutiara itu, segenap krisis pun berakhir – lihat kitab kami Al-Faraj ba’dasy-Syiddah wadh-Dhiqah.

Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi
(penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 131-134.


Meninggalkan perbuatan mencuri terong, lalu dianugerahi seorang wanita

Di Syria ada sebuah masjid agung bernama Masjid Jami’ at-Taubah, sebuah masjid yang dilimpahi keberkahan, ketenangan, dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun yang lalu, di masjid itu ada seorang syaikh murabbi yang alim yang sekaligus mengamalkan ilmunya. Syaikh Salim al-Musuthi, demikian nama syaikh itu, adalah contoh ideal dalam kefakiran, keengganannya dalam meminta belas kasih orang, keluhuran pribadinya, dan pengorbanannya terhadap orang lain.

Sementara itu, ada seseorang yang tinggal di sebuah bilik dalam masjid itu. Suatu saat, selama dua hari ia tidak makan sesuatu pun, karena tak ada apa-apa yang bisa dimakannya, dan dia pun tidak punya uang untuk membeli makanan. Ketika tiba hari ketiga, ia merasa seolah-olah nyaris mati dan ia pun berpikir tentang apa yang akan ia lakukan.

Menurutnya, ia telah sampai pada ambang batas darurat yang dibolehkan untuk makan bangkai atau mencuri sebatas kebutuhan. Kemudian orang itu lebih memilih untuk mencuri sesuatu yang bisa meluruskan tulang punggungnya. Inilah pikiran yang berputar di otaknya kala itu.


Sedang langit-langit masjid itu bersambungan dengan beberapa rumah, yang memungkinkan seseorang untuk beralih dari satu rumah ke rumah lainnya dengan berjalan di atas atap rumah itu. Lalu orang itu naik ke atap masjid, dan dari sana dia berpindah ke sebuah rumah yang berhimpitan dengan masjid. Sesaat kemudian secara sembunyi dia melihat seorang perempuan, lalu pandangannya dirundukkan, sambil menghindar dari penglihatan wanita itu.

Setelah menanti sejenak, lalu dia lihat rumah lain di sampingnya yang kosong, dan dia mencium aroma masakan dari rumah itu. Karena saking laparnya, dia merasa apa yang diciumnya itu seolah-olah sebuah magnit yang membetot dirinya. Dan lantaran rumah-rumah itu hanya satu tingkat, maka dengan dua kali lompatan saja ia sudah sampai di serambi rumah itu.

Kini ia sudah berada dalam rumah, dan segera ia menuju ke ruang dapur, lalu disingkapnya tirai periuk. Dan ia lihat periuk terisi penuh dengan terong, lantas dia ambil satu, dan karena laparnya yang luar biasa, panas terong itu pun tidak dihiraukan. Kemudian terong itu dia gigit sekali gigitan, bahkan nyaris ditelan, tapi sesaat berikutnya akal dan nurani keagamaannya bekerja lagi, seraya berkata pada diri sendiri: “Aku berlindung kepada Allah; saya seorang pencari ilmu dan mukim di masjid, tapi kenapa saya melabrak rumah orang dan mencuri apa yang ada di dalamnya?”

Dia merasa telah berbuat dosa besar atas apa-apa yang sudah ia perbuat, sangat menyesal, istighfar kepada Allah, mengembalikan terong itu lagi, dan ia pun kembali ke tempat semula. Dia turun ke masjid, dan duduk bergabung dalam halaqah pengajian yang dipandu oleh Syaikh Salim. Tapi karena saking laparnya, ia hampir tidak memahami apa yang didengarnya.

Setelah pengajian rampung dan jamaah pun sudah pulang, tiba-tiba datang seorang masturah (wanita yang seluruh anggota tubuhnya tertutup). Kala itu memang tak ada wanita kecuali seluruh anggota tubuhnya tertutup. Lalu wanita itu berbicara kepada Syaikh dengan kata-kata yang tidak bisa didengar oleh orang itu. Kemudian sang Syaikh melayangkan pandangan ke sekitarnya, dan ia tidak melihat orang lain kecuali pemuda ini.

Lalu Syaikh Salim memanggil orang itu, seraya bertanya: “Apakah kamu sudah punya istri?” Jawab orang itu: “Belum.” Sambung Syaikh pula: “Apa kamu kepingin menikah?” Lalu orang itu diam, dan sang Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian orang itu menjawab: “Ya Syaikh, kami tidak punya uang untuk membeli roti. Wallahi! Dengan apa saya harus menikah?”

Kata Syaikh pula: “Wanita ini telah bercerita pada saya bahwa suaminya telah meninggal, dan dia terasing dari tanah airnya. Di negerinya, bahkan di dunia ini dia tidak punya sesuatu pun kecuali seorang paman yang lemah dan miskin, dan ia juga ikut datang bersama wanita ini.” Demikian ucap asy-Syaikh sambil menunjuk ke pamannya yang sedang duduk di sudut halaqah pengajian.

Lebih lanjut Syaikh Salim menjelaskan: “Dia telah memperoleh warisan rumah dan mata pencaharian suaminya. Dan dia kepingin mendapatkan seorang lelaki yang mau diajak berkeluarga agar dia tidak terus menerus dalam kesendirian, sehingga memancing hasrat orang. Apakah kamu ingin menikah dengannya?” Jawab orang itu: “Ya.” Asy-Syaikh juga bertanya kepada wanita itu: “Apakah engkau menerima dia sebagai suami?” Jawab wanita itu: “Ya.”

Kemudian asy-Syaikh memanggil paman wanita itu dan dua orang saksi, lalu akad nikah pun dilangsungkan. Sementara maharnya ditangguhkan dulu bagi muridnya itu. “Peganglah tangan istrimu,” kata sang Guru kemudian kepada orang (muridnya) itu. Lalu dia gamit tangan itu, dan istrinya menuntunnya ke rumahnya.

Tatkala istrinya mengantarkan orang itu masuk ke rumahnya, dan membuka wajahnya, ternyata wanita itu tampak masih belia dan cantik. Dan rumahnya ternyata adalah rumah yang pernah diselusupinya.

Lalu istrinya bertanya: “Engkau mau makan?” Jawabnya: “Ya.” Ketika istrinya menyingkap tirai periuk dan melihat terong di dalamnya, dengan heran ia berkata: “Siapa orang yang masuk rumah ini dan menggigit terong ini?!”

Orang itu lalu menangis dan menceritakan kisahnya kepada istrinya, dan sahutnya: “Inilah buah amanah. Engkau telah menjaga diri dari dosa dan meninggalkan terong yang haram, lalu Allah memberimu rumah seisinya lengkap dengan pemiliknya secara halal; barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah menukarnya dengan perkara yang lebih baik darinya.”

[Kisah ini dituturkan oleh Syaikh Ali Thanthawi]
Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi
(penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 93-96.


Meninggalkan khianat, lalu dianugerahi kekayaan berlimpah

Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad al-Bazar al-Anshari berkata: Aku pernah tinggal berdekatan dengan kota Mekah -semoga dijaga oleh Allah.

Suatu hari aku didera oleh lapar yang luar biasa, dan tidak kudapatkan sesuatu pun yang bisa menolak rasa laparku. Sesaat kemudian kutemukan kantong dari sutera yang diikat dengan kaus kaki yang juga terbuat dari sutera. Bungkusan itu saya ambil dan saya bawa pulang ke rumah. Tatkala kantong itu kuurai, ternyata di dalamnya kutemukan kalung dari mutiara yang belum pernah kulihat kalung yang semisal dengannya.

Baca Juga

Bertobatlah! Ini 7 Dosa Besar Penyebab Datangnya Azab dan Bencana di Suatu Negeri

    Sahabat viralsbook, pernahkah memikirkan apa penyebab Allah menimpakan bencana pada suatu kaum atau negeri? Adakah kita meyakini bahwa bencana hadir dikarenakan ulah tangan kita sendiri, yakni disebabkan...
Selengkapnya
Lantas aku keluar rumah dan tiba-tiba ada seorang kakek yang berseru sembari membawa kain berisikan uang limaratus dinar. Sambil menyodorkan kain itu, kakek tua itu berkata dengan nyaring: “Inilah imbalan untuk orang yang mengembalikan kantong yang berisi mutiara.” Aku pun bergumam: “Saya butuh dan lapar, bagaimana kalau saya ambil mutiara itu, lantas saya gunakan, dan kantongnya saja yang saya kembalikan padanya.”

Kemudian aku berucap padanya: “Mari ke sini!” Kakek tua itu pun kusambut dan kubawa ke rumahku. Lantas dia gambarkan ciri-ciri kantongnya, kaus kakinya, mutiaranya, jumlah mutiara itu, lengkap dengan benang pengikat semua itu. Lalu bungkusan itu pun saya keluarkan dan saya berikan kepadanya, dan ia membalasnya dengan menyerahkan uang limaratus dinar pada saya. Dan saya tidak mengambil sesuatu pun dari bungkusan itu.


Kemudian kukatakan padanya: “Wajib bagi saya untuk mengembalikan bungkusan ini pada bapak.” Imbalan itu tetap tidak saya ambil, tapi kakek tua itu berkata pada saya: “Engkau mesti menerima dan mengambil imbalan ini.” Kakek tua itu nyinyir dan memaksa saya supaya mau menerima bingkisan itu, namun saya tetap tidak mengambilnya. Lalu kakek tua itupun meninggalkan saya dan berlalu pergi.

Sementara saya, setelah itu keluar dari Mekah dengan menaiki bahtera. Dalam perjalanan, bahtera itu hancur dan banyak penumpangnya karam, dan harta benda mereka pun punah. Dan saya bisa selamat dengan mendayung di atas kepingan bahtera itu. Sekian lama saya mengapung di atas laut dan tidak tahu kemana arah saya menuju, hingga akhirnya menepi di sebuah pulau yang dihuni oleh suatu kaum.

Kemudian saya duduk di sebagian masjid yang ada di sana. Mereka mendengar kalam Al-Qur’an yang saya baca, namun tidak ada orang yang mau mendatangiku kecuali seorang ini, dan dia berucap: “Ajarkan saya Al-Qur’an…” Setelah itu, maka harta kekayaan pun melimpah, yang saya dapatkan dari masyarakat pulau itu.

Lalu saya lihat ada beberapa lembar mushaf Al-Qur’an; saya pungut, dan saya baca mushaf itu. Lantas mereka berkata: “Anda juga apik dalam menulis?” Jawabku: “Ya.” Sambung mereka: “Ajarkan saya menulis khat.” Maka mereka pun berdatangan dengan menyertakan anak-anak dan para remaja mereka. Lalu saya mengajarkan mereka menulis khat, dan karenanya banyak pula harta yang saya peroleh darinya.

Setelah itu, masyarakat di sana mengutarakan hal ini pada saya: “Kami punya seorang perempuan beliau yang yatim, dan dia memiliki kekayaan yang cukup. Apakah anda kepingin menikahinya?” Saya mencoba menghindari diri, namun mereka segera memberondong saya dengan kata-kata: “Anda mesti, dan tidak boleh tidak mengikuti kami.” Maka saya pun mengabulkan keinginan mereka.


Ketika mereka menyorongkan perempuan yatim itu kepada saya, pandangan saya pun tertuju padanya, dan ternyata kutemukan kalung kakek tua di Mekah dulu itu tergantung di lehernya.

Maka kala itu konsentrasi saya terkuras habis dengan menatap perempuan itu, sehingga mereka mengingatkan: “Wahai Guru, hati perempuan yatim ini bisa hancur karena tatapanmu pada kalung itu. Mengapa kau pandang dia seperti itu?”

Kemudian saya ceritakan tentang kalung itu, dan mereka menyambutnya dengan pekik tahlil dan takbir sehingga terdengar ke segenap penduduk pulau itu. Dengan heran dan penasaran, saya pun bertanya: “Ada apa dengan kalian?” Jawab mereka: “Kakek tua yang mengambil kalung darimu itu adalah ayah dari perempuan ini. Dan dia pernah berucap: ‘Belum pernah kujumpai seorang Muslim di dunia ini sebaik orang yang mengembalikan kalung ini pada saya.’ Setelah itu dia berdoa: ‘Ya Allah, pertemukan saya dengannya sehingga saya dapat menikahkan dia dengan anak saya.’ Dan kini hal itu telah menjadi kenyataan.”

Akhirnya saya hidup bersama perempuan itu dan dikaruniai dua orang anak. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena perempuan itu meninggal, dan mewariskan kalung itu kepada saya dan kedua anak kami. Saya dan kedua anak saya juga tak lama hidup bersama, karena keduanya menyusul ibunya dipanggil Allah, hingga kalung mutiara itu menjadi milik saya sendiri. Kemudian kalung itu saya jual dengan harga seratus ribu dinar. Dan kekayaan yang kau lihat ada pada saya ini adalah sisa dari penjualan kalung mutiara itu.” (Lihat kitab Aniisul-Jaliis, juz I)

Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi (penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 97-100.
Baca Juga