Jumat, 10 Mei 2019

5 Tokoh Berdarah Timur Tengah Ini Berjasa Besar dan Berjuang Demi Bangsa Indonesia

Mereka keturunan Arab, tapi kiprah tokoh-tokoh ini mempunyai peranan yang penting bagi sejarah perjalanan panjang bangsa indonesia. Bahkan salah satunya diangkat menjadi Pahlawan Nasional


VIRALSBOOK.COM - Beberapa hari belakangan, jagat politik tanah air kembali heboh dengan perbincangan kontroversi seputar “keturunan arab”. Eks kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan beberapa nama WNI keturunan Arab, yang dianggapnya biang provokator agar tidak meneriakkan revolusi.

Pernyataan Hendropriyono bernada rasialis tersebut mendapat tanggapan dari banyak tokoh politik dan dianggap menyinggung keturunan Arab, bersifat rasis serta berpotensi mengadu domba dan memecah-belah anak bangsa.

Sahabat viralsbook, benarkah yang disebutkan Hendropriyono bahwa warga keturunan Arab adalah provokator yang menyulut revolusi? Bagaimana sebenarnya perjalanan orang Arab di Indonesia?


Bangsa Arab di Indonesia memiliki sejarah panjang. Dalam beberapa buku sejarah, bahkan disebutkan orang Arab masuk ke Indonesia sejak awal abad pertama Hijriah, pada zaman khalifah Utsman bin Affan, atau sekitar sekitar 30 H (650 M). Bukti terkuat keberadaan bangsa Arab di wilayah Nusantara, adalah adanya laporan dari orientalis, Van Leur, bahwa terdapat berbagai indikasi yang mengesankan adanya perkampungan-perkampungan atau keluarga besar Arab di pantai barat Sumatera sejak 674 M.

Dalam buku Sejarah Umat Islam karya Prof Dr Hamka, dituliskan bahwa para pedagang Arab telah datang ke negeri-negeri Melayu pada abad VII Masehi, atau abad I Hijriah. Argumennya ini mendasar pada sebuah catatan-catatan tahunan yang dibuat pelajar-pelajar bangsa Tionghoa pada 684 M, tentang bertemunya seorang pemimpin Arab yang menurut penyelidikan terakhir adalah pemimpin dari satu koloni bangsa Arab di pantai pulau Sumatera sebelah barat. Orang-orang Arab inilah yang kemudian mengembangkan dakwah Islam di Nusantara. Yang terkenal adalah Wali Sango, yang sebagian besar merupakan ulama-ulama keturunan Arab.

Masyarakat keturunan Arab di Indonesia, yang kebayakan ulama, juga terlibat dalam mengobarkan semangat rakyat dalam pemberontakan-pemberontakan melawan Belanda baik di Jawa, Banjarmasin, Aceh, Pontianak dan beberapa daerah lain di Nusantara. Hal inilah yang kemudian menumbuhkan benih-benih kekhawatiran Belanda akan bahaya Islam, terutama dalam hubungannya dengan peranan keturunan Arab pada wilayah kolonialnya.

Dengan demikian, Bangsa Arab di Indonesia juga punya andil besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Mereka mempunyai peranan yang penting bagi sejarah perjalanan bangsa. Baik di masa perjuangan memperebutkan kemerdekaan, maupun sesudah Indonesia menjadi negara yang berdaulat penuh. Siapa sajakah mereka? Simak ulasan berikut.

1. Sultan Hamid II


Masyarakat Indonesia mungkin hanya mengenal lambang Garuda Pancasila yang digambarkan dengan seekor burung dengan perisai di depannya. Tak banyak orang Indonesia tahu bahwa sesungguhnya Sultan Hamid II dari Pontianak adalah perancang Lambang Negara Garuda Pancasila.


Pria kelahiran 12 Juli 1913 itu awalnya merupakan seorang perwira tinggi berpangkat Mayor Jenderal di tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), Belanda. Ketika Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, oleh Kepala Negara, Sultan Hamid II ditunjuk menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949 sampai dengan 1950. Dengan surat Keputusan Presiden RIS No. 1 tahun 1949 tanggal 18 Desember 1949, Sultan Hamid II beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai salah satu Dewan Formatur Kabinet RIS.

Bersama tim perumus lain, Sultan Hamid II terlibat aktif dalam merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dalam pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949, dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan Lambang Negara. Kemudian, Presiden Soekarno menunjuk Sultan Hamid II yang menjabat sebagai Menteri Negara tersebut untuk menjadi koordinator tim perumusan lambang negara pada 1950. Dalam sidang kabinet pada 10 Januari 1950, dibentuklah sebuah panitia teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah koordinasi Sultan Hamid II.

Panitia ini bertugas menyeleksi atau menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Dalam proses sayembara pembuatan lambang negara, banyak rancangan yang diajukan, tak terkecuali Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin yang juga mengajukan rancangan lambang negara buatannya masing-masing.


Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Akan tetapi, panitia menolak rancangan Muhammad Yamin. Alasannya, rancangan Yamin banyak mengandung unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh Jepang. Pemerintah akhirnya menerima Elang Rajawali - Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 11 Februari 1950.

Dalam perkembangannya, banyak masukan-masukan dari berbagai pihak terhadap lambang RIS yang baru itu. Beberapa kali perbaikan-pun dilakukan oleh Sultan Hamid II sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. Dalam masa kerjanya yang singkat, dia berhasil menciptakan gambar burung garuda sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat, yang hingga hari ini lambang tersebut digunakan oleh Indonesia dalam bentuk lain, yakni Negara Kesatuan Repubik Indonesia.

Selain merancang lambang negara, pria bernama lengkap Syarif Hamid al-Qadri itu juga menjabat sebagai ketua BFO, di mana ia berhasil melapangkan langkah Indonesia untuk merebut kemerdekaan dalam Konferensi Meja Bundar. Pada tanggal 30 Maret 1978, pukul 18.15 WIB, Sultan Hamid II wafat di Jakarta. Sultan Pontianak ke-7 itu meninggal dunia ketika sedang melakukan sujud pada shalat maghribnya yang terakhir. Sultan Hamid II dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak, di Batu Layang, dengan Upacara Kebesaran Kesultanan Pontianak.

2. AR Baswedan


Nama AR Baswedan terasa identik dengan sosok Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Hal ini benar adanya. Mengingat, figur tersebut merupakan kakek dari Anies Baswedan yang dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 November 2018.

Mengutip, buku profil penerima gelar Pahlawan Nasional yang ditulis Kementerian Sosial, Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya pada tanggal 9 September 1908 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 16 Maret 1986. Putra dari Awad Umar Baswedan dan Khadjijah Badid, tumbuh dewasa menjadi seorang nasionalis, pro kemerdekaan dan republiken sejati. Selain sebagai pejuang kemerdekaan, Ia juga dikenal sebagai penulis, penyair, sastrawan, dan politisi.

Semasa hidupnya, AR Baswedan dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan integrasi keturunan Arab menjadi bangsa Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa. Menurutnya, keturunan Arab mempunyai kewajiban yang sama untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia menyebarkan pemikiran dan sikap politiknya tersebut melalui surat kabar tempatnya bekerja sebagai redaktur, diantaranya surat kabar Sin Tit Po dan Suara Umum.

Ia merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKPKI) mewakili golongan Arab. Tak hanya di dalam negeri, ia juga menjadi delegasi diplomatik pertama RI yang melobi para pemimpin negara-negara Arab. Hasilnya, eksistensi Republik Indonesia diakui secara de facto dan de jure oleh Mesir dan negara Arab lainnya.

Dirinya pun merupakan inisiator pembentukan Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia (PAI), yang dibubarkan pemerintah pendudukan Jepang (1942-1945), dan akhirnya bergabung ke dalam Partai Masyumi. Setelah keluar dari dunia politik pada tahun 1960, Abdurrahman mengalihkan perjuangannya ke dalam dunia pendidikan, dakwah, dan budaya.

3. Raden Saleh


Sosok seniman Raden Saleh Sjarif Boestaman atau Raden Saleh, merupakan seorang tokoh yang sangat terkenal dengan bakatnya mengenai seni lukis. Beliau merupakan pelopar dari sebuah karya seni lukis modern Hindia Belanda (Indonesia). Pada masanya, Ia dikenang sebagai maestro seni lukis yang berpengaruh di tanah nusantara lantaran sukses membawa nama Indonesia melejit ke panggung dunia. Meski tanah air kala itu masih bernama Hindia Belanda, sosok Raden Saleh sangat disegani oleh kolonial barat karena pengaruhnya yang luar biasa di bidang seni, khususnya melukis. Karya-karyanya sangat populer di Eropa yakni pada saat itu tentang perpaduan romantisme.

Raden Saleh lahir pada tahun 1807, dilahirkan dalam sebuah keluarga jawa ningrat. Ayahnya seorang keturunan arab bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin jahya, dan ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen.

Semasa kecilnya, Raden Saleh ikut bersama pamannya yang menjabat sebagai Bupati di Semarang. Kemudian, Raden Saleh bersekolah di Volks-School dan disitulah Raden Saleh mulai terlihat bakatnya dalam menggambar. Raden Saleh sempat pula tinggal di Jerman. Karena sosoknya yang ramah dan mudah bergaul, ia memiliki banyak kenalan dari kalangan seniman dunia, seperti pelukis, penyair, dan musisi elit kala itu, seperti Ludwig Tieck, Robert dan Clara Schumann, Karl Gutzkow, pendongeng legendaris dunia Hans Christian Andersen, dan Ottilie von Goethe.

Bahkan, karya-karyanya banyak disaksikan oleh bangsawan pada masa itu. Bisa dibilang, Raden Saleh adalah representasi kehebatan Indonesia lewat sosoknya yang Arab-Jawa kepada dunia luar pada zamannya.

4. Ali Alatas


Ali Alatas lahir 4 November 1932 di Jakarta. Ia meniti karirnya sejak 22 tahun sebagai diplomat di Sekretaris II Kedubes RI di Bangkok. Alumni Fakultas Hukum UI 1956 ini sejak kecil bercita-cita ingin menjadi pengacara. Sebelum namanya dijagokan jadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia tahun 1996, Ali Alatas membangun reputasi dan karier diplomatiknya tidak dalam satu malam dan bukan dengan omong besar para pengikut setia yang bersuara mirip kunyahan kerupuk. Ia diplomat hebat andalan Indonesia yang meniti karier dari titik nol.

Ali Alatas merupakan keturunan blasteran dari Arab Hadhrami (Yaman) dan Sunda. Alex, begitu ia akrab dipanggil, menikah dengan Junisa dan pasangan ini dikaruniai tiga orang anak. Sebagai diplomat, ia dikenal akrab kepada semua kalangan, baik pejabat maupun petugas keamanan. Ia dilaporkan biasa mengobrol dengan petugas keamanan di PBB sewaktu merokok di luar gedung.

Sejak tahun 1954 ketika usianya masih 22, ia telah terlibat dari satu perundingan ke perundingan lain hingga punya pengaruh besar di berbagai forum internasional. Begitu berwibawanya Ali Alatas, banyak diplomat asing memuliakannya dengan panggilan yang Indonesia banget: "Pak Ali" - bukan dengan sebutan sir atau mister yang lazim dipakai. Salah satu prestasi terbesar yang pernah dicatat Ali sebagai diplomat adalah mewujudkan perdamaian di Kamboja. Bersama Perdana Menteri Kamboja saat itu, Hun Sen, Ali berhasil mengakhiri perang melawan Khmer Merah yang diperkirakan menewaskan antara 1,4 hingga 2,2 juta jiwa warga sipil.

Baca Juga

5 Teori Konspirasi Gila yang Benar-Benar Terjadi, Bukti bahwa Teori Ini Tak Selamanya Omong Kosong

    Banyak hal aneh, misterius, dan mengherankan yang terjadi di dunia ini. Bukan hanya membuat orang heran dan terperangah, kejadian-kejadian itu terkadang juga tak dapat dijelaskan dengan akal...
Selengkapnya
Mantan Menlu Indonesia periode 1988-1999 ini telah malang melintang dalam setiap komposisi tim diplomasi Indonesia untuk beragam acara, mulai PBB, OKI, APEC, OPEC, sampai GNB– sejak 1960an hingga akhir hayatnya. Berbicara ASEAN tanpa menyebut Ali Alatas bagai sayur tanpa garam. Empat puluh satu tahun Ali Alatas menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan panjang dan jatuh bangunnya ASEAN.

Penerima anugerah Bintang Mahaputra Adipradana itu akhirnya menutup mata untuk selamanya di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada tanggal 11 Desember 2008 pukul 07.30 pagi waktu Singapura diusia 76 tahun.

5. Faradj bin Said


Ia banyak meninggalkan jejak bersejarah bagi bangsa Indonesia, salah satunya adalah Masjid Agung Al-Azhar yang terkenal di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dimana ia dan sahabatnya Hasan Argubi (Kapten Arab Betawi) termasuk diantara nama-nama yang disebut-sebut sebagai donatur dan pendirinya, sebuah masjid yang ide pendiriannya digagas dan dibina oleh ulama besar Indonesia, Buya Hamka.

Dialah Faradj bin Said bin Awadh Martak, sosok yang tak akan pernah terlupakan sebagai bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang saudagar keturunan arab yang sukses sebagai pengusaha di Indonesia di masanya, ia dikenal dekat dengan Sukarno, Bapak Proklamator RI yang merumuskan Pancasila dan membacakan teks proklamasi yang membuat Indonesia berdaulat penuh.

Sumbangsih dari pria yang lahir pada 1897 di Kegubernuran Hadhramaut, Yaman ini tergolong besar. Berkat dirinya yang menghibahkan rumah miliknya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Soekarno bisa memproklamirkan kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Di rumah itu pula, Fatmawati menjahit sendiri Bendera Merah Putih pada malam sebelum Proklamasi. Tak hanya itu, ia juga sempat mengobati sakit dari Bung Karno dengan sebuah madu berkhasiat dari tanah Yaman yang bernama sidr bahiyah.


Atas jasanya itu, pemerintah RI kemudian memberinya ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Faradj bin Said. Ucapan tersebut disampaikan secara tertulis atas nama Pemerintah Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950, yang ditandatangani oleh Ir. HM Sitompul selaku Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan Republik Indonesia.

Sayangnya sahabat viralsbook, Rumah bersejarah di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta itu kini telah musnah tanpa jejak karena dirobohkan atas permintaan Bung Karno sendiri pada tahun 1962. Di atasnya kemudian dibangun Gedung Pola, dan tempat Bung Karno berdiri bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI itu lalu didirikan monumen Tugu Proklamasi. Dan sejak itulah jalan Pegangsaan Timur berubah menjadi Jalan Proklamasi.

***

Itulah 5 tokoh keturunan arab yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah perjalanan Panjang bangsa Indonesia. Tak hanya warga keturunan Arab, para tokoh lainnya yang datang dari etnis Tionghoa dan bahkan Eropa, juga memiliki andil pada kemerdekaan Indonesia.

Sahabat viralsbook, terlepas dari kontroversi yang ada, sejarah perjalanan bangsa ini banyak dipikul oleh mereka yang berbeda warna kulit, latar belakang dan keturunan. Semua tercatat dengan kisahnya masing-masing dalam mewarnai perjalanan bangsa Indonesia dari masa perjuangan hingga merdeka. Jadi, jika ada yang membeda-bedakannya bahkan memusuhi warga keturunan dengan pernyataan-pernyataan bersifat rasis, maka sesungguhnya hal itu merupakan hal terbodoh yang pernah dilakukan oleh mereka yang buta akan sejarah.


referensi : boombastis, idntimes, tirto.id, serambinews, satujam.com, islampos.com
Baca Juga